Berikutbeberapa perbedaan Pancasila dan Konstitusi di Indonesia: Pancasila adalah dasar negara Indonesia sedangkan Konstitusi adalah undang-undang. Walaupun kedua jenis hal penting ini sama dalam penerapannya namun isinya tetap berbeda. Undang undang atau yang dikenal sebagai konstitusi akan meperjelas isi dari pancasila. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAANRachmatika Lestari, XIII MASYARAKAT INDONESIA•Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masingmasing plural jamak dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam” Kusumohamidjojo, 200045”.•Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa yang kita kenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa dan bernegara yang harus diinsafi secara sadar. Namun, kemajemukan terkadang membawa berbagai persoalan dan potensi konflik yang berujung pada perpecahan. Hal ini menggambarkan bahwa pada dasarnya, tidak mudah mempersatukan suatu keragaman tanpa didukung oleh kesadaran masyarakat multikultural. •Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di sisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkan seperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu. •Menyoal tentang rawan terjadi konflik pada masyarakat multikultur seperti Indonesia, memiliki potensi yang besar terjadinya konflik antarkelompok, etnis, agama, dan suku bangsa. Salah satu indikasinya yaitu mulai tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, agama, dan organisasi atau golongan yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompok yang mengarah pada konflik SARA suku, agama, ras dan antar golongan. 1. INDONESIA MULTICULTURAL NATION STATE•Indonesia adalah suatu negara multikultural yang memiliki keragaman budaya, ras, suku, agama dan golongan yang kesemuanya merupakan kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa Indonesia. •Selo Soemardjan Alfian, 1991 173 mengemukakan bahwa pada waktu disiapkannya Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila tampaknya para pemimpin kita menyadari realitas bahwa ditanah air kita ada aneka ragam kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di dalam suatu suku. Realitas ini tidak dapat diabaikan dan secara rasional harus diakui adanya. •Keragaman merupakan suatu kewajaran sejauh disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Kemajemukan ini tumbuh dan berkembang ratusan tahun lamanya sebagai warisan dari nenek moyang bangsa Indonesia.•Dalam masyarakat multikultur, setiap individu maupun masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui politics of recognition yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu secara sosial. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.•Musa Asy’arie dalam Mahfud, 2005 103 mengatakan bahwa “multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat”. Kearifan akan tumbuh jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kepastian hidup yang kodrati. 2. DILEMA MULTIKULTURAL BANGSA INDONESIA •Keadaan Indonesia yang multikultur akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat Indonesia membawanya. Keadaan ini bisa dibawa pada jalur yang menjadikannya suatu kekayaan dan kekuatan bangsa, namun bisa pula dibawa pada jalur yang akan menjadi pemecah belah dan penyulut konflik di masyarakat. •Amirsyah 2012 51 memandang bahwa kemajemukan masyarakat sebagaimana yang ada di Indonesia adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin disangkal. Tidak ada cara lain bagi bangsa ini kecuali dengan berkomitmen kuat merawat keragaman menjadi sebuah kemungkin dan tidak mentolelir segala bentuk tindakan yang dapat menghancurkan tatanan masyarakat majemuk. •Keragaman sebagai rahmat dari Tuhan tidak lepas dari tantangan yang sering kali muncul di tengah kehidupan masyarakat seperti menyikapi perbedaan dengan intoleransi, memperdebatkan perbedaan-berbedaan, mempertentangkan orang lain yang tidak sama dengan dia, dan bahkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang memicu konflik masal. Hal ini sangat rentan terjadi pada masyarakat Indonesia yang dihadapkan pada perubahan dan kebebasan era globalisasi.•Konflik bernuansa SARA akhir-akhir ini banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kebanyakan kasus yang terjadi dipicu oleh tindakan seorang atau kelompok tertentu yang intoleran yang kemudian dibawa pada kelompoknya yang lebih luas dengan mengatasnamakan latar belakang ras, suku, agama, dan budaya. •Haris 201252 mengatakan bahwa “akibat lebih jauh terjadinya konflik horisontal yang dipicu oleh kecemburuan sosial, ego daerah, ego suku, ego agama, dan lainnya. Kesadaran untuk hidup bersama secara damai sesuai makna Bhineka Tunggal Ika mulai luntur”. Akibat ego seorang atau segelintir orang kemudian dibawa menjadi ego kelompok dan golongan tertentu muncul konflik besar yang membawa bencana bagi semua pihak termasuk pihak yang tidak terlibat. TUNGGAL IKA CIRI MULTIKULTURALISME BANGSA •Keberagaman budaya Indonesia dilengkapi oleh keragaman lain yang ada pada tatanan hidup masyarakat baik perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan politik yang terhimpun dalam suatu ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. •Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa Indonesia merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia sebagai negara multikultur. •Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kesadaran kita sebagai masyarakat Indonesia yang mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut dalam bingkai kesatuan tanah air dalam pangkuan Ibu Pertiwi. •Tarmizi Taher Syaefullah, 2007 193 berpandangan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, memberikan pelajaran agar semua penduduk Indonesia menghayati diri mereka sebagai suatu bangsa, satu tanah air, satu bahasa dan satu tujuan nasional yaitu terciptanya sebuah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dan pedoman utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.•Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika salah satu bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan. KESIMPULAN•Keragaman dalam masyarakat majemuk merupakan sesuatu yang alami yang harus dipandang sebagai suatu fitrah. Hal tersebut dapat dianalogikan seperti halnya jari tangan manusia yang terdiri atas lima jari yang berbeda, akan tetapi kesemuanya memiliki fungsi dan maksud tersendiri, sehingga jika semuanya disatukan akan mampu mengerjakan tugas seberat apapun. •Untuk menyadari hal tersebut, Bhinneka Tunggal Ika memiliki peran yang sangat penting. Pengembangan multikulturalisme mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu kehidupan masyarakat yang majemuk. •Jika hal tersebut tidak ditanamkan dalam suatu masyarakat yang majemuk, agar kemajemukan tidak membawa pada perpecahan dan konflik, Indonesia sebagai bangsa yang multikultural harus mengembangkan wawasan multikultural tersebut dalam semua tatanan kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai kebhinekaan. Membangun masyarakat multikultur Indonesia harus diawali dengan keyakinan bahwa dengan bersatu kita memiliki kekuatan yang lebih besar. ... Sehingga persepsi tersebut membawa implikasi kainginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi politik islam. Hal ini disebabkan pada tahun 1945-an ada dua kubu idiologi yang merebutkan negara Indonesia, yaitu gerakan islam dan nasionalis Tomalili, 2019. ...... Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integrative. Tomalili, 2019 Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian besar masyarakat islam. Kebijakan -kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat ...Dany Try Hutama HutabaratAjeng Alda SariAnggun WellaSiti RahmadaniThe state is defined as the highest organization among a group of people who have the aspiration to unite, live in the region, and have a sovereign government. The goals of the state, among others, are to expand power, maintain law and order, and achieve general welfare. Of course, in a country there are citizens who take shelter in it. According to the 2006 UUKI, what is meant by a citizen is a citizen of a country that is determined based on statutory regulations. The state is a place for the growth of religion. In the relationship between the state and citizens is very closely related. Citizens play an important role in maintaining the integrity of a country. Muslims in Indonesia must be smart to be a pillar of inter-religious harmony. The plurality of Indonesian citizens in terms of religion, race, ethnicity, and between groups, conflicts often occur which can have an impact on the integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia, abbreviated as NKRI. However, the spirit of maintaining inter-community and ethnic harmony and maintaining the integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia is starting to be forgotten by the successors of this nation. The problem starts with religion or ethnicity.... Terdiri dari ribuan kultur, etnis, bahasa dan agama. Bahkan ada yang menganggap bahwa Indonesia merupakan negara multikultural terbesar di dunia Ginting Kiki. 2009;Gina Lestari. 2015;Amalia. 2016 Keragaman ini bisa menjadi berkah bagi bangsa, atau bisa sebaliknya. Tergantung bagaimana masyarakat Indonesia memaknai dan mensikapinya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa keragaman ini berpotensi menimbulkan konflik antar etnis, agama, dan budaya. Seperti konflik horisontal yang terjadi di Sambas, Poso, Sampit, Tasikmala ... Ainna AmaliaRicardo Freedom NanuruThe focus of this research is the tolerance of the people of Bali, Maluku, and Papua. This quantitative research uses a survey method by taking 282 respondents who are at least 20 years old. As a result, of respondents were the same with people of different religions and religions. remained friends despite their religious differences. of respondents still feel happy and comfortable with people who have different beliefs. And of respondents often gave appreciation to friends and neighbors of different religions. Respondents also strongly disagree if there are actions that prevent adherents of other religions from carrying out their worship, which is as much as They tend to give freedom of worship to different followers, as many as In addition, as many as of respondents released adherents of other religions to establish places of worship as long as they were in accordance with procedures. And of respondents continued to establish cooperation in various fields with people of different religions. Conclusions from research conducted, the people of Bali, Maluku, and Papua, which are Muslim minority areas, still have a high tolerance towards other religions. So religious differences do not affect their tolerance Yonatan Alex ArifiantoSikap superioritas, intoleransi, saling bermusuhan, bahkan konflik horizontal yang didasari dari gesekan-gesekan perbedaan ajaran, maupun egois dari kompetisi dalam penyebarluasan paham agama, dapat menimbulkan perpecahan di lapisan masyarakat. bahkan yan terjadi di sepanjanag sejarah bangsa ini konflik sosial silih berganti muncul dan membawa luka pada sisi kemanusiaan. Oleh karena itu penulis mendeskripsikan sila Persatuan Indonesia sebagai dasar yang selaras dengan ajaran kaidah norma atau nilai untuk membangun eksistensi pancasila bagi kerukunann masyarakat majemuk. Menggunakan metode kualitatif deskritif, dapat disimpulkan bahwa Sila persatuan Indonesia dalam etis teologis upaya membangun eksistensi Pancasila bagi kerukunan multikultural menjadi perhatian semua anak bangsa terkhusus orang percaya dengan melakukan sikap dan prilaku. pertama memiliki paradigma dan konsep Persatuan Indonesia sebagai dasar Persatuan masyarakat, menjadi harga final bagi kerukunan. Kedua kerukunan yang dibangun sebagai eksistensi persatuan dalam etis teologis tidak bertentangan dengan segala norma dan nilai kemanusian maupun bertentangan dengan Alkitab. ketiga orang percaya dapat memahami hakikat kerukunan dalam multikulktural sebagai bagian kebersamaan anak bangsa membangun keutuhan bangsa dan negaranya. Keempat peran orang percaya membawa persatuan bangsa menjadi kewajiban sebagai orang yang dipanggil untuk menjadi saksi dan dampak bagi has not been able to resolve any references for this publication.

MenurutKo Swaw Sik, kewarganegaraan ialah ikatan hukum diantara negara beserta seseorang yang disebut warga negara. Ikatan atau hubungan tersebut menjadi suatu "kontrak politik", yang mana sebuah negara tersebut memiliki hukum tata negara dan kedaulatan yang diakui masyarakat dunia. kewarganegaraan disini merupakan bagian dalam konsep kewargaan (citizenship).

Perbedaan Pancasila Sebagai Dasar Negara – Pancasila adalah Dasar Negara atau dasar teologi bangsa Indonesia. Tetapi Dalam prosesnya implementasi dan perbedaan Arti Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup belum begitu maksimal. Sebagai warga negara Indonesia hendaknya wajib mengetahui perbedaan dan implementasinya dalam berkehidupaan bangsa dan negara. Rasa cinta saja tidak cukup harus serta dibarengi degan penanaman makna yang baik tentang pancasila Perbedaan Arti Pancasila Sebagai Dasar Negara Dan Pandangan Hidup Bicara tentang pancasila tentunya berbicara dasar negara dan teologi yang memiliki nilai sakral dan outentik. Namun pada hakikatnya seiring kemajuan zaman inmpelementasinya dapat beragam dalam kehidupan. Meskipun dasar negara ini adalah sebuah materi wajib dalam setiap jenjang pendidikan dan termaktub dalam kurikulum namun penting untuk membedakan keduanya. 1. Perbedaan Arti Salah satu Implementasi dan perbedaan arti pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup adalah memahami makna dan arti sesungguhnya tentang pancasila sebagai dasar negara maupun pandangan hidup. Adapun perbedaannya adalah pancasila sebagai dasar negara memiliki makna atau arti yaitu Pancasila adalah landasan dasar teologi adanya NKRI atau dengan kata lain fondasi awal suatu negara. Sedangkan pancasila sebagai pandangan hidup memiliki arti pancasila itu adalah dalil ataupun sumber yang dijadikan pendoman dalam menyikapi ataupun menyelesaikan suatu permasalahan dalam aspek kehidupan. Baca Juga Perbedaan Hak Dan Kewajiban 2. Fungsi Perbedaan Fungsi nya adalah peran Pancasila sebagai dasar negara sebagai dasar fondasi yang kuat dan utuh sebagai suatu bangsa indonesia untuk menyatukan seluruh masyarakat yang berbeda kedalam sebuah kehidupan yang rukun dan bersatu. Sedangkan fungsi Pancasila sebagai pandangan hidup adalah indikator yang dijadikan tolak ukur berkehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan masyarakat indonesia khususnya. 3. Manfaat Dan implementasi perbedaan pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup memiliki bermanfaat atau bertujuan sebagai alat pemersatu bangsa untuk sama sama memiliki tujuan dan cita cita bangsa mempertahankan keutuhan dan kekokohan kedaulatan bangsa Indonesia. Manfaat pandangan hidup adalah sebagai solusi dan penyelesaian adanya perbedaan maupun permasalahan dalam sendi kehidupan sehingga bangsa indonesia memiliki identitas yang jelas dan utuh. Implementasi dan perbedaan arti Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup harus dapat dipahami dan diyakini dalam rangka menghindari adanya konflik, dan permasalahan yang berkepanjangan sehingga bangsa akan maju dan mampu mendedikasikan identitas sebagai bangsa yang berdaulat. Pentingnya Menjaga Pancasila Sebagaimana telah dimengerti bahwa sebagai dasar negara dan mengandung nilai perjuangan bangsa pancasila harus dapat dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara bangsa indonesia. Jika pancasila hanya dipandang sebagai lambang atau dasar namun tidak memaknai nilainya maka kedaulatan akan terancam di rebut oleh kekuasaan lain. Oleh sebab itu Implementasi serta perbedaan arti pancasila sebagai dasar negara atau pandangan hidup harus berupa aksi nyata dan konsisten, sehingga fungsi konstituenya tidak mudah dicampuri oleh teologi asing. Kondisi ini wajib diketahui karena jika pancasila sebagai dasar negara telah berhasil dirubah atau dicampuri maka keamanan bangsa, negara bahkan seluruh warga negara menjadi terancam. Baca Juga Perbedaan Visi Dan Misi Isu Radikalisme Terhadap Ancaman Kedaulatan Bangsa Implementasi dan perbedaan arti pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup tidak saja hanya ucapan dan janji hati belaka. Pemahaman yang salah dapat mengakibatkan timbulnya arogansi dan radikalisme. Isu radikalisme akhir akhir ini membuat gejolak masyarakat takut diakibatkannya isu tersebut sarat dengan kekerasan dan kejahatan. Hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi komunitas, ras, agama, suku, bangsa, bahkan agama tertentu . Menguatnya isu ini menjadi alasan akan pentingnya pemahaman yang benar tentang dasar negara dan pandangan hidup. Radikalisme adalah hal yang harus dijauhi karena dapat menyebabkan Perpecahan. Isu radikalisme dikait-kaitkan dengan terorisme. Efeknya adalah perpecahan dalam bangsa dan negara yang diakibatkan pemahaman agama yang keliru. Terorisme. Terorisme adalah teror yang menakutkan dan sangat mengganggu kejiwaan masyarakat tertentu. Penyebab Terorisme oleh beberapa faktor yaitu keliru dalam memahami agama, simbol agama yang salah digunakan oleh oknum tertentu, belum meratanya keadilan dan kondisi lingkungan yang tidak aman dan kondusif, adanya perlakuan yang tidak fair yang terjadi pada dan oleh oknum atau kelompok tertentu. Implementasi Sikap Cinta Pancasila Dalam kehidupan Sehari-Hari Ada banyak bukti dari sikap cinta pancasila dalam kehidupan sehari hari. Implementasi serta perbedaan arti pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup dapat diklasifikasikan kedalam sikap yang sederhana dan dapat di contoh dan ditauladani siapa saja. Adapun sikap itu adalah sebagai berikut 1. Rasa Bangga Menjadi Bangsa Indonesia Rasa bangga adalah upaya menanamkan dalam diri bahwa diri seorang adalah bagian dari bangsa tersebut. Dengan memiliki rasa bangga terhadap bangsa indonesia seseorang akan lebih terjaga hatinya. Terjaga untuk menjaga dan takut melakukan yang dapat merugikan atau mencemari bangsanya. 2. Selalu Menjaga Kebesaran Nama Bangsa Sebagai Harga Diri Bangsa harus dianggap sebagai jati dan harga diri sehingga akan tumbuh rasa selalu menjaga nama baik bangsa jika demikian. Sikap akan mencerminkan kepada hal hal yang baik dan positif. 3. Dapat Menggunakan Hak Dan Kewajiban Dengan Jujur Seseorang warga negara yang telah mencakup syaratnya memiliki kewajiban untuk menggunakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara di negara indonesia salah satunya hak untuk memiliki pemimpin bangsa pada pemilu. 4. Mematuhi Hukum Dan Pemerintah Mematuhi peranan yang berlaku yang telah diatur oleh hukum dan pemerintah adalah bukti sikap cinta kepada pancasila hal ini menggambarkan warga negara yang patuh terhadap peraturan pemerintah sehingga bangsa menjadi terjaga dari perilaku melanggar hukum. 5. Turut Mendedikasikan Diri Dalam Memajukan Pembangunan Bangsa Banyak orang mengatakan cinta kepada bangsa namun masih suka melakukan hal hal yang dapat merugikan bangsa. Contohnya saja seperti melakukan, kerusakan, kriminalitas dan melakukan kecurangan yang menghambat kemajuan bangsa 6. Patuh Kepada Program Wajib Belajar Bersungguh sungguh dalam menuntut ilmu adalah juga sikap yang amat terpuji. Sebagai bangsa Indonesia khususnya yang cinta akan pancasila maka wajib mematuhi semua peraturan pemerintah. Salah satunya dengan patuh pada program wajib belajar ini. Baca Juga Perbedaan Cv Dan Pt 7. Melestarikan Dan Menjaga Lingkungan Lingkungan adalah sumber daya alam penting bagi keberlanjutan kehidupan generasi penerus agar makmur dan aman. Maka dari itu penting bagi kita untuk menjaga lingkungan dan melestarikan lingkungan. Itulah beberapa contoh sikap yang mencerminkan cinta dan senantiasa menjadi pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup. Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung begitulah pepatah para orang tua kepada anak anaknya. Tujuannya agar generasi memahami bahwa dimanapun, kapanpun serta kepada siapapun sikap tegas cinta perdamaian dan persatuan adalah implementasi perbedaan arti pancasila sebagai landasan dan pandangan hidup yang sangat baik. Pancasila adalah dasar dan memiliki nilai untuk dijalankan dan dipedomani oleh seluruh warga negara bangsa indonesia tanpa terkecuali. Sikap yang baik tidak melanggar hukum harus tetap dijaga dan rasa cinta dan bangga harus menjadi pandangan hidup dalam bersikap kepada siapapun. Berdedikasi dan cerdas dalam bersikap serta mampu bersaing dapat mengharumkan nama bangsa dan tentunya menjadi kebanggaan tiap tiap insan. Salam cinta NKRI harga mati. Perbedaan Pancasila Sebagai Dasar Negara

PERBEDAANKEWARGANEGARAAN DAN PANCASILA. A. Kewarganegaraan. Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara.

Pancasila Pancasila adalah Ideologi dasar Negara Indonesia, yang dipakai untuk menjadi dasar Negara Indonesia dan pandangan hidup. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta panca berarti lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan adalah Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membahas tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban warganegara serta proses demokrasi. Dan juga sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warganegara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis. Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu secara khususnegara yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya. Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak biasanya sosial yang berbeda-beda bagi warganya. Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik. Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara. Hakikat mempelajari pendidikan kewarganegaraan Hakikat pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara, demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara. Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa. • Standar isi pendidikan kewarganegaraan adalah pengembangan 1. nilai-nilai cinta tanah air; 2. kesadaran berbangsa dan bernegara; 3. keyakinan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara; 4. nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia dan lingkungan hidup; 5. kerelaan berkorban untuk masyarakat, bangsa, dan negara, serta 6. kemampuan awal bela negara. Contohnya yaitu kita sebagai warga Negara Indonesia dapat menjadi seorang yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan. Dapat membuat keputusan-keputusan cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai macam masalah pribadi, masalah masyarakat dan masalah Negara Menjadi warganegara yang baik dan demokratis. Membentuk mahasiswa yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap Negara. Mampu berpikir komprehensif, analitis dan kritis. Perbedaan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah pancasila adalah ideology bangsa Indonesia yang dijadikan pandangan hidup dan dasar Negara Indonesia, pancasila memiliki 5 sendi utama yang menyusunnya yaitu Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan suatu ilmu yang mempelajari tentang pemerintahan berserta konstitusi, hak dan kewajiban sebagai warga Negara. Sehinga kita sebagai warga Negara mengetahui hal – hal apa saja yang harus dilakukan untuk membuat Negara ini menjadi lebih maju.
Perbedaanantara BPUPKI dan PPKI ini dibahas dalam materi Pancasila sebagai dasar negara mata pelajaran PPKn kelas VII SMP. Soal-soal yang akan dibahas kali ini ada di dalam buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Kemdikbud edisi revisi 2017, kelas VII halaman 14 sampai 15. BPUPKI adalah singkatan dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Apa itu pancasila? Apa itu kewarganegaraan? Bagaimana hubungan pancasila dan kewarganegaraan? Pada kesempatan kali ini kita akan mencoba membahas mengenai materi tersebut yang tentunya akan bermanfaat untuk kalian yang sedang mencarinya untuk dijadikan sebagai sumber referensi dalam pembuatan makalah, laporan atau jurnal. Dibawah ini kalian bisa copy dan simpan ke microsoft word dalam bentuk doc, docx atau bahkan bisa convert ke bentuk pdf supaya lebih statis dan tidak mudah mengalami perubahan. Check these out! Makalah Pancasila Kewarganegaraan BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang Bagi negara Indonesia yang mempunyai penduduk dengan pluralitas tinggi, Pancasila dibutuhkan sebagai dasar negara yang berfungsi sebagai daya ikat serta dasar pemersatu bangsa dan negara. Pancasila jelas merupakan seperangkat nilai. Nilai tersebut dapat ditemukan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Kewarganegaraan adalah keanggotaan secara pasif dan aktif dari seorang individu dalam sebuah negara-bangsa dengan hak-hak universal tertentu dan kewajiban-kewajiban pada level yang spesifik dari kesetaraan. Secara sederhana, kewarganegaraan dapat dianggap sebagai konsep dalam mengukur hak dan kewajiban. Namun yang terjadi adalah pemahaman secara tidak penuh terhadap makna kewarganegaran. Konsep ini dilihat semata-mata sebagai status. Status yang dimaksudkan terkait dengan metode-metode untuk menentukan siapa yang bisa menjadi warganegara. Baca juga Wujud Bela Negara Secara Fisik dan Non Fisik Tujuan 1. Menjadikan warga negara yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil beradab dan penuh kebudayaan. 3. Beraneka kepentingan perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan golongan 4. Melahirkan warga negara yang memiliki wawasan berbangsa dan bernegara serta nasionalisme yang tinggi. 5. Melahirkan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai HAM dan Demokrasi, serta berpikir kritis terhadap permasalahannya. 6. Melahirkan warga negara yang mampu berpartisipasi dala upaya menghentikan budaya kekerasan, menyelesaikan konflik dalam masyarakat secara damai berdasarkan nilai-nilai pancasila dan nilai-nilai universal, serta menghormati supremasi hukum rule of law/ rechstaat 7. Melahirkan warga negara yang mampu memberikan kontribusi terhadap persoalan bangsa dan kebijakan publik Melahirkan warga negara yang memiliki pemahaman internasioanl mengenai “ civil society” Manfaat 1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa 2. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. 3. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara. 4. Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara BAB. II PEMBAHASAN Pengertian Pancasila Pancasila sebagai dasar nagara Rebublik indonesia di tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, sebagai dasar nagara, maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan berpemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada pancasila. Pancasila dapat diartikan secara etimologis dan secara termonomologis. Secara etimologis kata pancasila berasal dari bahasa sangsakerta yang mempunyai arti “panca” artinya “lima” dan “sila” artinya “alas” dasar” Moh Yamin. Perkataan pancasila mula-mula digunakan di dalam masyarakat india yang beragama budha, yang mengartikan lima aturan yang harus ditaati penganutnya. Sisa pengaruh pengertian pancasila menurut pengamat budha itu masih di kenal di masyarakat jawa, dengan di kenal 5 M, yaitu dilarang Mateni membunuh, Maling, wadon berjina, mabuk dan main. Secara termologis istilah Pancasila artinya lima dasar atau lima alas, untuk nama dasar negara kita RI, istilah ini mulai di usulkan oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 juni 1945 sebagai dasar negara RI dan baru disahkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Pengertian Nilai Pancasila Pancasila adalah nilai-nilai kehidupan yang berasal dari masyarakat Indonesia sejak dulu sampai saat ini. Berdasarkan hal tersebut terdapat perbedaan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat lain. Nilai-nilai kehidupan tersebut mewujudkan amal perbuatan dan pembawaan serta watak orang Indonesia. Dengan kata lain masyarakat Indonesia mempunyai ciri sendiri, yang merupakan kepribadiannya. Dengan nilai-nilai pulanglah rakyat Indonesia melihat dan memecahkan masalah kehidupan ini untuk mengarahkan dan mempedomani dalam kegiatan kehidupannya bermasyarakat Latar Belakang Kewarganegaraan Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni IPTEKS yang ber­landaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa. Pendidikan Kewargaan civic education sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengem­bangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya. Pengertian Kewarganegaraan Kewarganegaraan atau pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui tindakan menanamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi merupakan bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Seseorang yang menjadi warga negara harus lebih bertanggung jawab. Karena kewarganegaraan itu tidak dapat diwariskan begitu saja melainkan harus dipelajari dan di alami oleh masing-masing orang. Apalagi negara sedang menuju kearah negara demokratis, maka secara tidak langsung warga negaranya harus lebih aktif dan partisipatif Aplikasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Kewarganegaraan Kompetensi mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan antara lain agar mahasiswa mampu menjadi warga negara yang memiliki pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM, agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya mencegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai Agar mahasiswa memilik kepedulian dan mampu berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama, dan nilai-nilai universal, agar mahasiwa mampu berpikir kritis dan objektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM, dan demokrasi, agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik, agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak berkeadaban. Sebagai penganut ideologi terbuka, Pancasila senantiasa mampu berinteraksi secara dinamis. Nilai-nilai Pancasila tidak boleh berubah, namun pelaksanaannya harus kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang akan kita hadapi dalam setiap kurun waktu. Namun demikian, faktor manusia baik penguasa maupun rakyatnya sangat menentukan dalam mengukur kemampuan sebuah ideoogi dalam menyelesaikan berbagai masalah. Sebaik apapun ideologi kalau tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang baik, maka ideologi itu hanya menjadi angan-angan belaka. Bagi bangsa Indonesia, yang dijadikan sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah Pancasila. Hal ini berarti bahwa seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara menggunakan Pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah laku sebagai bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai intrinsik yang kebenarannya dapat dibuktikan secara objektif, serta mengandung kebenaran yang universal. Nilai-nilai Pancasila, merupakan kebenaran bagi bangsa indonesia karena telah teruji dalam sejarah dan dipersepsi sebagai nilai-nilai subjektif yang menjadi sumber kekuatan dan pedoman hidup seirama dengan proses adanya bangsa Indonesia yang dipengaruhi oleh dimensi waktu dan ruang. Nilai-nilai tersebut tampil sebagai norma dan moral kehidupan yang ditempa dan dimatangkan oleh pengalaman sejarah bangsa Indonesia untuk membentuk dirinya sebagai bangsa yang merdeka, berdaulat dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nilai-nilai Pancasila itu menjadi sumber inspirasi dan cita-cita untuk diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hakikat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah upaya menyadarkan dan merencanakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bagi warga negara dengan menumbuhkan jati diri dan moral bangsa sebagai landasan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam bela negara Demi kelangsungan kehidupan dan kejayaan bangsa dan negara. Sehingga dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, memberi ilmu tentang tata negara, menumbuhkan kepercayaan terhadap jati diri bangsa serta moral bangsa, maka takkan sulit untuk menjaga kelangsungan kehidupan dan kejayaan Indonesia. BAB. III PENUTUP Kesimpulan Bahwa di dalam kewarganegaraan juga terdapat nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila sehingga dengan menetapkan Pancasila sebagai bagian dari kewarganegaraan tidaklah mengerdilkan Pancasila itu sendiri. Kemudian, berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Sudijarto di awal tadi bahwa pendidikan kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan nilai-nilai Pancasila Menurut saya kewarganegaraan justru dapat mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dalam bahasa yang berbeda. Persamaan nilai yang dapat diambil dari substansi antara Pancasila dengan kewarganegaraan, maka dapat dirumuskan menjadi 2 hal yang utama 1. Seperti halnya kewarganegaraan, Pancasila menghindari otoritarianisme negarara, dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri permanen dari kebudayaan yang demokratis di Indonesia. Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada struktur dasar masyarakat dari kehidupan bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara. Hal ini sejalan dengan kewarganegaraan yang melindungi hak dan kebebasan dari warganegara, terutama dalam konsepkewarganegaraan multikultural maupun konsep tripartite Marshall atas hak sipil, politik, dan sosial yang biasanya diambil sebagai langkah awal untuk segala hal yang berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan. 2. Pancasila dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara. Gagasan fundamental Pancasila mengenai kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum juga dijamin dalam konsep-konsep kewarganegaraan sehingga poin kedua ini menegaskan bahwa substansi Pancasila dan kewarganegaraan adalah sama namun dalam bahasa yang berbeda. Baca juga Makalah Integrasi Nasional DAFTAR PUSTAKA Syarbaini, Syahrial. 2003. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta Ghalia. Syarbaini, Syahrial. Dkk. 2006. Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan Mewarganegaraan. Yogyakarta Graha Ilmu. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kansil T. Pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta Pradnya Paramita, 2003. Hlm. 1—17 Sebab Pancasila adalah sintesis yang mengakomodasi kekuatan dari ketiga mazhab kewarganegaraan di atas. Sebagai awal, prinsip negara demokrasi ideal adalah memberikan ruang bagi percakapan antarsesama warga untuk mencari jalan memenuhi kebutuhan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Namun di sisi lain, percakapan itu harus diwadahi oleh satu wahana
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. “Citizenship is passive and active membership of individuals in a nation-state with certain universalistic rights and obligations at a specified level of equality.” -Thomas Janoski- Satu pernyataan dari Thomas Janoski bermakna bahwa kewarganegaraan adalah keanggotaan secara pasif dan aktif dari seorang individu dalam sebuah negara-bangsa dengan hak-hak universal tertentu dan kewajiban-kewajiban pada level yang spesifik dari kesetaraan. Secara sederhana, kewarganegaraan dapat dianggap sebagai konsep dalam mengukur hak dan kewajiban. Namun yang terjadi adalah pemahaman secara tidak penuh terhadap makna kewarganegaran. Konsep ini dilihat semata-mata sebagai status. Status yang dimaksudkan terkait dengan metode-metode untuk menentukan siapa yang bisa menjadi warganegara. Pemahaman secara tidak penuh terhadap makna kewarganegaraan terlihat pada munculnya pernyataan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang mengatakan bahwa “menempatkan pendidikan Pancasila hanya sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan merupakan bentuk pengerdilan Pancasila.” Pandangan serupa diungkapkan oleh Sudijarto, dari Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, yang mengatakan “Pendidikan Kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan nilai-nilai Pancasila. Ini disebabkan silabus pendidikan kewarganegaraan lebih bersifat teori-teori tentang kenegaraan dan hak asasi manusia yang diadopsi dari negara lain”. Pernyataan yang disebutkan oleh kedua tokoh di atas menganggap bahwa kewarganegaraan dan Pancasila adalah dua hal berbeda yang mempunyai substansi berbeda pula, padahal substansi antara kewarganegaraan dan Pancasila tidaklah jauh berbeda. Intisari dari kewarganegaraan adalah nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri. Bagi negara Indonesia yang mempunyai penduduk dengan pluralitas tinggi, Pancasila dibutuhkan sebagai dasar negara yang berfungsi sebagai daya ikat serta dasar pemersatu bangsa dan negara. Pancasila jelas merupakan seperangkat nilai. Nilai tersebut dapat ditemukan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa “suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa merupakan hal yang penting mengingat Indonesia merupakan negara dengan keberagaman suku sehingga Pancasila dibutuhkan terkait dengan integrasi nasional. Rintangan utama pada pembangunan integrasi nasional adalah eksistensi dari etnis atau minoritas kultural dalam sebuah negara yang menolak kecenderungan integrasi. Makna rasa kesukuan bahkan menjadi lebih dramatis dalam masalah-masalah integratif yang timbul di negara-negara dimana masyarakatnya memiliki identitas etnis yang sangat kuat. Tegasnya, peranan yang dimainkan oleh faktor kesukuan jangan dianggap kecil, baik dalam kasus daerah-daerah yang memiliki identitas suku yang kuat maupun di daerah-daerah dimana penduduknya merupakan campuran dari berbagai suku. Dalam hal yang terakhir ini, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Liddle, etnisitas mungkin bercampur dengan dan dikurangi oleh ikatan-ikatan primordial lain, akan tetapi rasa kesukuan itu tidak sirna. Negara menghadapi konflik-konflik internal akibat meningkatnya semangat primordialisme; menyebarnya ideologi etnonasionalisme dan lokalisme yang menguat. Kesetiaan primordial ini sifatnya kolektif terutama dalam penggunaan bahasa dan budaya serta sangat emosional. Tidak perlu ada keberatan terhadap kesetiaan primordial selama ia tidak menghasilkan ketegangan-ketegangan regional dan kultural, dan sepanjang ia tidak bertentangan dengan kesetiaan nasional. Dalam dinamika pluralisme Indonesia tersebut, kewarganegaraan hadir dalam rangka pemersatu di antara perbedaan yang ada dan untuk meningkatkan rasa nasionalisme terhadap negara Indonesia. Sama halnya dengan Pancasila yang merupakan konsep dari bhinneka tunggal ika, kewarganegaraan juga memperhatikan keberagaman budaya yang dapat memotret pluralisme di Indonesia. Salah satunya adalah Will Kymlicka yang mengemukakan teori mengenai Kewarganegaraan Multikultural yang bersandar pada pandangan bahwa seorang warganegara selain merupakan individu yang otonom, juga merupakan bagian dari kelompoknya. Dengan konsepsi kewarganegaraan multikultur, pendidikan kewarganegaraan mengenalkan kita pada prinsip keadilan yang memperlakukan semua orang dengan sama. Hal ini ditekankan oleh Thomas Janoski yang menyatakan bahwa kewarganegaraan adalah sebuah pernyataan dari persamaan hak, dengan hak-hak dan kewajiban yang seimbang dalam batasan-batasan tertentu. Persamaan dalam hal ini mungkin tidak sempurna, tetapi hal tersebut paling memerlukan peningkatan hak-hak minoritas dalam berhadapan dengan elit-elit sosial. Persamaan ini sebagian besar bersifat prosedural, tetapi juga dapat termasuk hal-hal yang substantif. Dengan adanya persamaan, maka prinsip keadilan bagi seluruh kaum termasuk kaum minoritas dijamin dalam kerangka kewarganegaraan multikultural. Dalam usaha untuk mewujudkan prinsip persamaan, keadilan, dan keterwakilan, teori kewarganegaraan multikultural Kymlicka membedakan hak-hak minoritas bagi kelompok etnis, yaitu hak-hak pemerintahan sendiri, hak-hak polyetnik, dan hak-hak perwakilan khusus. Terkhusus hak-hak polyetnik, dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama untuk menyatakan kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat dominan. Ketiga bentuk kewargaan kelompok yang dibedakan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan eksternal. Caranya adalah, setiap bentuk membantu melindungi minoritas dari kekuasaan ekonomi dan politik masyarakat yang lebih luas, walau masing-masing menjawab pada tekanan eksternal yang berbeda dalam cara yang berbeda, yaitu perwakilan kelompok khusus di dalam lembaga politik masyarakat yang lebih luas menjadikan kecil kemungkinan bahwa minoritas bangsa atau etnis akan diabaikan dalam keputusan yang dibuat berbasiskan seluruh negeri. atas pemerintahan sendiri mengalihkan kekuasaan ke unit politik yang lebih kecil sehingga minoritas bangsa tidak dapat dikalahkan dalam pemilihan atau dalam tawar-menawar oleh mayoritas berkenaan dengan keputusan yang sangat penting bagi kebudayaannya. polietnis melindungi praktik-praktik agama dan budaya yang khas, yang mungkin tidak didukung secara layak melalui pasar atau yang dirugikan oleh perundangan yang ada. Akomodasi dari perbedaan-perbedaan ini adalah inti dari kesetaraan yang sebenarnya, dan hak-hak khusus kelompok tersebut diperlukan untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang ada. Walau hak-hak kelompok yang dibedakan untuk minoritas bangsa mungkin secara sekilas tampak mendiskriminasi, hak-hak itu sebenarnya konsisten dengan prinsip-prinsip mengenai kesetaraan. Jika bukan karena hak-hak kelompok yang dibedakan itu, para anggota kebudayaan minoritas tidak akan mempunyai kemampuan yang sama untuk hidup dan bekerja dalam bahasa dan kebudayaan sendiri yang dianggap lumrah bagi para anggota dari kebudayaan mayoritas. Dengan pandangan demikian, maka intisari yang dapat diambil dari pembahasan tersebut adalah bahwa di dalam kewarganegaraan juga terdapat nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila sehingga dengan menetapkan Pancasila sebagai bagian dari kewarganegaraan tidaklah mengerdilkan Pancasila itu sendiri. Kemudian, berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Sudijarto di awal tadi bahwa pendidikan kewarganegaraan tidak akan mampu mentransformasikan nilai-nilai Pancasila, menurut saya kewarganegaraan justru dapat mentransformasikan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila dalam bahasa yang berbeda. Apabila dirangkum mengenai persamaan nilai yang dapat diambil dari substansi antara Pancasila dengan kewarganegaraan, maka dapat dirumuskan menjadi 2 hal yang utama halnya kewarganegaraan, Pancasila menghindari otoritarianisme negara, dan usaha mengembangkan pluralisme sebagai ciri permanen dari kebudayaan yang demokratis di Indonesia. Pancasila tidak membuka ruang bagi penggunaan kekuasaan negara yang bersifat memaksa. Pancasila sebagai konsepsi politis hanya berlaku pada struktur dasar masyarakat dari kehidupan bernegara, sementara keyakinan atau nilai lain yang mungkin ada di luar yang politis sebagaimana berlaku pada asosiasi, atau keluarga atau orang-perorang, tetap dibiarkan hidup dan harus dihormati perkembangannya oleh negara. Hal ini sejalan dengan kewarganegaraan yang melindungi hak dan kebebasan dari warganegara, terutama dalam konsepkewarganegaraan multikultural maupun konsep tripartite Marshall atas hak sipil, politik, dan sosial yang biasanya diambil sebagai langkah awal untuk segala hal yang berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan. dapat memperkuat kebebasan, persamaan, dan hak-hak sipil dan politik dasar bagi warga negara yang hidup dalam sebuah negara. Gagasan fundamental Pancasila mengenai kebebasan, hak-hak sipil dan politik dasar yang harus dihormati oleh mayoritas legislatif, seperti hak ikut dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam politik, kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, dan juga perlindungan hukum juga dijamin dalam konsep-konsep kewarganegaraan sehingga poin kedua ini menegaskan bahwa substansi Pancasila dan kewarganegaraan adalah sama namun dalam bahasa yang berbeda. Thomas Janoski, 1998, Citizenship and Civil Society A framework of Rigts and Obligations in Liberal, Cambridge University Press, Cambridge, hlm. 9 Ibid.,, hlm. 4 Nuri Soeseno, 2010, Kewarganegaraan Tafsir, Tradisi, dan Isu-Isu Kontemporer, Departemen Ilmu Politik FISIP-UI, Jakarta, hlm. 22 Ibid. Widodo Ekatjahjana, “Penjabaran Ideologi Pancasila Potensi Konflik Mahasiswa dan Antisipasinya”, Hukum dan Masyarakat Vol. 22 No. 2 Tahun 1997, Fakultas Hukum Universitas Jember, hlm. 59 Astim Riyanto, “Pancasila Dasar Negara Indonesia”, Hukum Pembangunan Vol. 37 No. 3 Tahun 2007, Fakultas Hukum UI, hlm. 466 Anthony H. Birch, Nationalism and National Integration, Academic Division of Unwin Hyman Ltd., London, hlm. 10 Ibid, hlm. 20 Ibid. 1 2 3 Lihat Politik Selengkapnya
FilsafatPancasila. Apa itu filsafat Pancasila? Kali ini dalam belajar itu mudah, dijelaskan tentang Filsafat Pancasila dan dasar dasar Pancasila dalam ilmu filsafat seperti dasar ontologi Pancasila, dasar epistemologi, dasar aksiologi pancasila dan perbandingan ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya.. Berdasarkan buku Pendidikan kewarganegaraan, dijelaskan Filsafat Pancasila Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Pancasila berasal dari kata Sanskerta yaitu Panca berarti Lima dan Sila berarti Prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular, Pancasila memiliki arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” atau “berbatu sendi yang lima”. Pancasila dipakai untuk menjadi dasar guna mengatur segala bentuk arah serta gerak dari pemerintahan negara yang memiliki tujuan untuk mengatur setiap penyelenggaraan yang ada dalam bernegara. Lalu pengertian pancasila menurut para ahli yaitu Ir. Soekarno, Pancasila merupakan isi yang terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia secara turun-temurun lamanya sudah terpendam bisu oleh kebudayaan Barat. Oleh sebab itu, Pancasila tidak saja sebagai falsafah negara, namun cakupannya lebih luas, yaitu falsafah bangsa Indonesia. Muhammad Yamin, Pancasila berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu “Panca” yang memiliki arti “lima” dan “Sila” yang berarti “dasar atau sebuah peraturan tingkah laku yang penting dan baik”. Notonegoro,Pancasila merupakan dasar falsafah dari negara Indonesia. Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideologi negara yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai suatu dasar kesatuan. Jadi Pancasila adalah sebuah landasan pandangan hidup bangsa Indonesia yang harus terus dipegang karena maknanya yang bisa menjadi Indonesia negara yang satu walaupun didalamnya begitu banyak perbedaan yang sudah sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sedangkan Pancasila menurut dari Ketetapan MPR ialah sumber hukum dasar nasional. Kewarganegaraan Pengertian kewarganegaraan secara umum adalah sesuatu hal yang berhubungan dengan warga negara dengan negara. Dalam bahasa Inggris, kewarganegaraan dikenal dengan kata citizenship, artinya keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara. Sedangkan pengertian warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga negara dari negara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal1 angka 1 pengertian warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Istilah kewarganegaraan dapat dibedakan dalam pengertian secara yuridis dan sosiologis. Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara. Adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum tersebut antara lain akta kelahiran, surat pernyataan, dan bukti kewarganegaraan. Kewarganegaraan dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan hukum. Akan tetapi ditandai dengan ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan. Asas Kewarganegaraan Pengertian asas kewarganegaraan adalah dasar hukum bagi kewarganegaraan untuk penduduk warga sebuah negara. Secara umum ada 2 asas kewarganegaraan yang diterapkan oleh suatu negara, yaitu Ius Sanguinis Asas ius sanguinis atau asas keturunan yang menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut keturunan atau pertalian darah. Ius Soli Asas ius soli atau asas tempat kelahiran yang menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut tempat kelahirannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan dari Pancasila dan Kewarganegaraan yaitu Pancasila adalah sebuah ideologi dasar negara Indonesia yang menjadi dasar dari hukum-hukum yang ada di Indonesia sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan Kewarganeraan adalah warga negara yang berhubungan dengan negaranya yang memiliki kewajiban dan hak penuh untuk menjalani hidupnya sebagai anggota warga negaranya. REFERENSI

DibacaNormal 8 menit. Berikut perbedaan Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013 di jenjang SD, SMP, hingga PAUD, dan penjelasannya. Kurikulum Merdeka adalah bagian dari paket Merdeka Belajar Episode ke-15 yang diluncurkan oleh Kemendibudristek pada Februari 2022. Rencananya, ratusan ribu sekolah akan memulai penerapan kurikulum ini

I Made WarsanaThe purpose of this study was to analyze the philosophical basis and implications of the Decision of the Main Assembly of Bali Pakraman Village Number 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 on the position of Balinese women in the family and inheritance. This study used a normative juridical method with a philosophical and conceptual approach, which discussed legal rules or regulations as a system associated with legal events. The study results showed that the philosophical basis for the Decision of the Main Assembly of the Bali Pakraman Village Number 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 was a patrilineal system Balinese society which did not provide opportunities for Balinese women to become heirs. The implication of the decision of the Main Assembly of the Bali Pakraman Village Number 01/Kep/Psm-3/MDP Bali/X/2010 was the realization of gender equality between Balinese men and women in obtaining rights, although with different amounts of MusriansyahSihabudin SihabudinMaya SariAbdul Rachmad BudionoHanif Nur WidhiyantiAhmad BonadiRachmad Syafa'atSudarsono SudarsonoThis paper aims to analyzes the consideration of Constitutional Court judges in canceling Article 251 paragraph 2, paragraph 3, paragraph 4 and paragraph 8 of the Republic of Indonesia Law No. 23 of 2014 concerning Regional Autonomy and the impact of the Constitutional Court Decision Number 137 / PUU-XIII / 2015. The study uses normative legal research with a statute approach, conceptual approach, and case approach. The decision of the Constitutional Court judges in deciding their cases is based on the principles of constitutionalism, the principle of the unitary state of the Republic of Indonesia, the principle of regional autonomy and decentralization, and the principle of judicial power and rule of law. The impact of the Constitutional Court Ruling Number 137/PUU-XIII/2015 is the increased burden of the case of material testing rights in the Supreme Court, the abolition of the governor’s authority to cancel district/city regulations, and hinder the deregulation program to accelerate HartatikDhiana PuspitawatiThis paper aims to review the Court Decision Number 15 / / 2014 / dated October 14, 2014, relating to the validity of the transfer of land rights by buying and selling through payment using Bilyet Giro, and analyzing the settlement of the transfer of land rights using Bilyet Giro according to customary law. The method used in this paper is normative research to find a solution to the problem of transferring land rights through buying and selling using Bilyet Giro to produce a new opinion, theory or concept as a prescription related to the problem. The results of the analysis in this paper show that the payment in full with the Bilyet Giro against the price agreed in the sale of land rights must be declared valid and valuable, both in terms of the Civil Code and the concept of customary law, and according to the provisions of customary law, cash payment with Bilyet Giro is sufficient for the transfer of land rights due to buying and Aznawi FaisalSihabudin SihabudinShinta HadiyantinaThis study aimed to analyze changes in the provisions for registering limited partnership after enacting the Minister of Law and Human Rights Regulation Number 17 of 2018 and the position of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 17 of 2018 on the hierarchy of laws and regulations in Indonesia. The type of research used was normative juridical law with a conceptual, historical, and statutory approach. After the enactment of Minister of Law and Human Rights Number 17 of 2018, the authority to register limited partnerships, which was previously the authority of the Minister of Trade, was transferred to the Minister of Law and Human Rights. The position of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 17 of 2018 is seen from the procedure for forming ministerial regulations that do not meet the requirements as implementing regulations and are contrary to the principle of business Evi KristhyAstri Putri AprillaThis study analyzed the rights to flats for foreign citizens based on Government Regulation Number 18 of 2021 and legal certainty in Government Regulation 18 of 2021. This study used a normative legal method with a statutory and conceptual approach. The provisions of Article 71 paragraph 1 letter b of Government Regulation Number 18 of 2021 regulated the right to apartment units for foreign nationals. As a result, foreign citizens could obtain use rights or building use rights on flats built on state land, land rights management, or property rights. However, government Regulation Number 18 of 2021 was considered unable to provide legal certainty because it was contrary to Law Number 5 of 1960 as a higher-level regulation. Article 37 of Law Number 5 of 1960 did not stipulate that foreign nationals could obtain building use rights as described in Article 71 paragraph 1 letter b of Government Regulation 18 of SuharyadiThis study aimed to analyze the juridical implications, the urgency of the new concept of default, losses suffered by creditors, and legal protection for creditors after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019. This study used a normative juridical method with a case and legislation approach. The juridical implication of the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 was the non-fulfillment of the element of legal certainty due to differences in the concept of default in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 with the provisions of Article 1243 of the Civil Code. The urgency of the new concept of default in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 was to provide legal protection for debtors when a default is declared unilaterally by the creditor. Losses experienced by creditors were categorized into cost losses, losses on damaged goods, and losses on profits that should be obtained. Legal protection for creditors was carried out in a preventive and repressive study aimed to analyze the juridical implications, the urgency of the new concept of default, losses suffered by creditors, and legal protection for creditors after the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019. This study used a normative juridical method with a case and legislation approach. The juridical implication of the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 was the non-fulfillment of the element of legal certainty due to differences in the concept of default in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 with the provisions of Article 1243 of the Civil Code. The urgency of the new concept of default in the Constitutional Court Decision Number 18/PUU-XVII/2019 was to provide legal protection for debtors when a default is declared unilaterally by the creditor. Losses experienced by creditors were categorized into cost losses, losses on damaged goods, and losses on profits that should be obtained. Legal protection for creditors was carried out in a preventive and repressive RachmanIlham FitraThis article aims to parse and identify the participation of citizens in handling the coronavirus pandemic in Indonesia. This article tries to “unfold” an overview of the relationship between citizenship studies and health. This research was conducted by a qualitative approach and descriptive design. Collecting data were obtained by using observation, documents study, interview, and literature study technique that was held on during January until Mei 2020. The data obtained were then analyzed by an interactive model. The research result shows that citizen has a central rule for handling the spread of corona virus. Citizen participation for handling COVID-19 conducted by educating people about coronavirus and COVID-19, and preventive measures. Another participation form is direct philanthropy action. Citizen participation for handling COVID-19 in Indonesia. Categories Level of citizen participation in Indonesia is the degree of citizen power. Urgent to develop synergy between state and citizen to improve the highest standard, comprehensive, and sustainable NovenrySiti HamidahSukarmi SukarmiThis study aimed to discuss legal protection for buyers in Islamic housing with istishna contracts during the COVID-19 pandemic and developers' efforts to overcome the problem of late payments. The study method used empirical juridical with qualitative descriptive analysis methods. The istishna contract had not provided legal protection because the agreement's substance was the developer's absolute right, so the buyer could not change it. Instead, the developer did three things to overcome delays in fulfilling the buyer's instalment obligations explaining the istishna contract, delaying payment, and carrying out joint selling if the buyer could not pay instalments or pay them YogahasatamaMoh. Ibnu FajarThis study aimed to determine the implications of force majeure due to the Covid-19 pandemic on tourism sector agreements. This study used a sociological juridical approach. This research emphasized secondary sources of material, both field data, conditions in the field, and the form of regulations and legal theories. The results showed that the impact during the pandemic and the new normal was very significant. The factor that caused force majeure to take effect in the tourism sector in the Madura island region at the time of the Covid-19 epidemic was an excuse for not being able to fulfill obligations due to the disappearance of objects or destinations that are the subject of the agreement. The impact was arising from the imposition of force majeure on the tourism sector agreement in the Madura region during the Covid-19 pandemic, the tourism sector business actors canceled the agreement unilaterally by causing losses to the tourism sector business WidodoMuh Ali MasnunThis study aimed to analyze legal politics and determine the broad guidelines of state policy based on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This study was included in the type of legal study with a statutory approach, a conceptual approach, and a historical approach. The People's Consultative Assembly did not establish the main points of state policy. However, they were jointly formed by the President, the People's Representative Council, and the Regional Representatives Council because the People's Consultative Assembly was no longer located as the highest state institution. The construction of the broad state policy guidelines, designed by the candidate for President or Vice President and his coalition before the general election, was then ratified into law if it had been elected as President. The regulatory period for the state law was designed for five years to make the legal norms more RAHMAWATIHANIF NUR WIDHIYANTIWARKUM SUMITRORahdinal FathanahRachmi SulistyariniThe purpose of this writing is to analyze the form of responsi-bility of children in caring for parents related to the provisions of Article 46 paragraph 2 of Law number 1 of 1974 concerning Marriage accord-ing to the perspective of Civil Law, Customary Law especially Balinese Customs and Islamic Law and analyze the form of legal protection for parents who does not get care by children. The method used is the legal approach and conceptual approach. The results of this study are a form of children's responsibility in looking after parents, according to the per-spective of civil law, to be material. Meanwhile, according to the per-spective of customary law, especially Balinese custom and Islamic legal perspective, it is material and immaterial. The form of preventive legal protection for parents who do not receive care by children in the form of a District Court stipulation regarding the inability of children to provide for their parents, and the form of repressive legal protection for parents who do not get care by children in the form of civil lawsuits regAyu KartikawatiHanif Nur WidhiyantiThis study aimed to adjust the statute for foundations established before the enactment of Law Number 28 of 2004 and analyze the legal consequences for foundations established before the enactment of Law Number 28 of 2004 that did not make adjustments to the articles of association. This study used a normative juridical method with a statutory and case approach. The results showed that the purpose of adjusting the articles of association for foundations that were established before the enactment of Law Number 28 of 2004 was to obtain recognition as a foundation, either technically or administratively. The legal consequences for foundations that were established before the enactment of Law Number 28 of 2004 that did not make adjustments to the statute were in the form of losses due to loss of previous history and wealth in the form of assets that had been obtained by the foundation so that the foundation became like a new Robby NugrahaSiti HamidahMoch. Fadlithe purpose of the author of this article is to discuss the meaning of propriety and reason- ableness in Article 74 paragraph 2 of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Compa- nies UUPT on a corporate social responsibility agreement in the distribution. The method uses normative legal studies with legislative approaches, concepts, and case studies. The propriety meaning is conformity based on balance, meaning that it must fulfill the element of conformity with the situation or the balance between the company’s ability to risk the activities of the company. Fairness is interpreted as something that should or should be done based on the order and the appropriate rules. Compliance and reasonableness are viewed from the point of view of the amount that is spent on the company’s CSR must be in proportion and not contrary to the provisions of the legislation. Compliance and reasonableness are related to the number, objectives, and form of the SukrionoThis study aimed to describe the determination of inter-village integrated growth centers based on Article 12 of the Minister of Home Affairs Regulation Number 51 of 2007 and analyze the formation of integrated agricultural areas based on the analysis of rural areas in the determination of inter-village integrated growth centers. This study used an empirical juridical method with a statutory and conceptual approach. The data in this study were obtained through observation, documentation, interviews, focus group discussions and conventional and electronic literature studies, which were analyzed using juridical qualitative methods. Determination of integrated growth centers between villages based on Article 12 of the Regulation of the Minister of Home Affairs Number 51 of 2007 was carried out by analyzing rural areas, both in terms of topography, natural resources, human resources, and facilities and infrastructure owned. The establishment of integrated agricultural areas based on the analysis of rural areas in determining the integrated growth centers between villages was carried out through four stages, namely the proposal of development plans, formulation of strategies and policies, planning of supporting programs, and legalization of integrated agricultural Putra SantosoTommy Julio SantosoCindy Fransisca SubagijoTamara TeguhThis study aimed to analyze the actions of passengers who operated cellular telephones on board the aircraft and the criminal liability of passengers who operated cellular telephones on aircraft based on Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. The approach used in this study was a statutory approach and a case approach with a normative juridical type of research. The data sources in this study used primary and secondary legal materials. The data that were obtained were analyzed using descriptive techniques. The actions of passengers who operated cell phones on planes meet one form of error, namely negligence without awareness. Criminal liability for passengers who operated cellular phones onboard the aircraft was based on the elements of a criminal act in Article 54 letter f of the Aviation Law, and the sanctions provided were regulated in Article 412 paragraph 5 of the Aviation Law, which was threatened with a maximum imprisonment of two years or a maximum fine of 200,000,000 Aulia AbdillahSiti HamidahEndang Sri KawuryanThis study aimed to discuss the forms of recognition of children resulting from unregistered marriages, the reasons for the need to recognize children resulting from unregistered marriages, and regulating procedures for filing recognition of children's status. The study used a normative juridical type with a conceptual approach and a statutory approach. The form of recognition for out-of-wedlock children was in the form of a notary certificate of recognition as well as a birth certificate based on the results of a DNA test deoxyribonucleic acid. The reason for the need for legal recognition of the status of the child of unregistered marriage by his father was based on philosophical, sociological, and juridical reasons. The procedure for recognizing the status of a child was carried out by identifying the problem, checking DNA, getting married, and distributing SyauqiMuhammad BakriIwan PermadiTthis study aimed to analyze the validity of debt recognition letters and selling authorities evidence P-2 and evidence P-3, the basis for judges’ considerations, and the legal consequences of the Supreme Court Decision Number 2290 K/Pdt/ 2012 for debtors and creditors. The method used in this study was normative juridical research with a statutory approach and a case approach. The results of the systematic interpretive analysis showed that the debt recognition letter evidence P-2 and selling authorities evidence P-3 in the Supreme Court Decision Number 2290 K/Pdt/ 2012 could be declared invalid. Juridically, the judges’ considerations were considered insufficient in examining the truth of the events in the Supreme Court Decision Number 2290 K/Pdt/2012. The legal consequences that occurred after the verdict, the creditor could have collateral for the land-based on an invalid debt acknowledgment but legalized by the panel of judges in the decision. The legal consequence for the debtor, the legal action to defend the land that was carried out by him was considered an act against the lawMUWAFFIQ JUFRIElina Dyah YuliantiTunggul AnshariThis study aimed to analyze the aspects of legal accountability as well as formulate legal aspects of legal protection for notaries in making an authentic deed on the perspective of Article 65 of Law Number 2 of 2014 concerning the Notarial Department UUJN. This type of research was normative juridical research normative legal research that used a statue approach and conceptual approach. This study was analyzed by grammatical and systematic interpretation methods. The results showed that the notary was fully responsible in the making of the official deed willingly, while in the making of the deed the notary party was not fully responsible when it had carried out its duties and obligations to properly include compile the information of the parties into the deed. Protection for notaries in making authentic deeds, namely preventive legal protection in the form of UUJN, as well as repressive protection in the form of the provisions of Article 66 UUJN as a form of settlement efforts if the notary is in question before the LAILI FADHILAHWahyuni WahyuniRachmat Safa’atMuhammad FadliInca Nadya DamopoliiR. Imam Rahmat Sjafi’iThis study aimed to analyze the force of private testament proofing and the judge's consideration in the Bitung District Court Decision Number 43 / / 2015 / about sale without any written evidence. The study used a normative research method with a statutory approach and a case approach. The results showed the power of private testament regarding the Bitung District Court Decision Number 43 / / 2015 / is strong, judging from the power of physical evidence, the power of formal evidence, and the power of material evidence. However, the sale carried out between the plaintiff and the defendant which was not in the presence of the Land Deed Official had weak legal force because it was not in accordance with the prevailing laws and regulations. In their legal considerations, judges used the principle of sale customary law only, namely light and cash, and witness testimony de auditu as evidence. This legal consideration was deemed inappropriate because it was against the Basic Agrarian Law and in general the witness testimony de auditu was rejected as TimexSuhariningsih SuhariningsihRаchmі SulіstyаrіnіThis article aims to examine the issuance marriage agreement based on the Decision of Constitutional Court Number 69 / PUU-XІІІ / 2015. This study is a normative research with statute and cases approach. The Decision of Constitutional Court Number 69 / PUU-XІІІ / 2015 provides that the marriage agreement which has been made either through a court or notary request must still be recorded and passed to the Population and Civil Registry Office. It aims to provide legal certainty and legal protection for every HeryogiMasruchin Ruba’iBambang SugiriDeno Ukida NarasomaIwan PermadiDiah Aju Wisnu WardhaniThis study aimed to analyze the reasons the Supreme Court issued a Supreme Court Decision Number 50 P/HUM/2018 which decided the cancellation of the Minister of Law and Human Rights Regulation Number 25 of 2017 and analyze the legal consequences of the decision on new notary candidates. This study used normative juridical with a statutory approach and historical approach. The reasons the Supreme Court issued Supreme Court Decision Number 50 P/HUM/2018 were influenced by two factors, juridical and non-juridical factors. The legal consequences of the Supreme Court Decision Number 50 P/HUM/2018 for new notary candidates was the disappearance of the notary candidate’s obligation to take the notary appointment exam and the emergence of problems related to the clarity of the qualifications that should be completed to register as a notary because the ruling resulted in a legal vacuum related to the terms of the conditions in the appointment of a public UyunThis study aimed to analyze the juridical understanding of the crime of embezzlement in the position of a notary, the crime of embezzlement in the position of a notary for the use of money deposited from the sale and purchase of land, and judges' considerations regarding the decision of the Supreme Court Number 508 K/PID/2017 against a notary who committed a crime of embezzlement. This study used a statutory research approach and a case approach, with a normative juridical type of research. The data analysis technique used the descriptive analysis method and legal interpretation. The study results showed that embezzlement in positions as regulated in Article 374 of the Criminal Code was a serious crime of embezzlement due to employment, position, and salary relationships. The Supreme Court's decision Number 508 K/PID/2017 had fulfilled the elements of embezzlement. If they receive money deposited, notaries must comply with the provisions in Article 1694 to Article 1739 of the Civil Code. The judge's consideration in imposing a crime against a notary who committed embezzlement in the office was based on the indictment, statements of witnesses and defendants, and Tri WahyudiRachmad Safa’atThis study aimed to analyze the legal force, legal conflicts, and legal consequences of the provisions of Article 33 of the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 6 of 2018 and the formulation that was appropriate with the regulations of the payment procedures for income tax PPh and acquisition duty of right on land and building BPHTB. This study used a normative juridical method with a conceptual and statute approach. Based on academic juridical perspective, article 33 Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 6 of 2018 had weak legal force, while from a formal juridical perspective the regulation remained valid before a decision to cancel its application from the Supreme Court. The provisions of Article 33 of the Regulation of the Minister of Agrarian and Spatial Planning/Head of the National Land Agency Number 6 of 2018 contradicted the provisions of Articles 3 and 7 of Government Regulation Number 34 of 2018 and Articles 90 and 91 of Law Number 28 of 2009. It caused legal consequences legal uncertainty, legal injustice, and did not fulfill the legal force of land rights certificates as a strong means of proof. The formulation of the right regulation regarding the procedure for paying income tax and fees for acquiring land and building rights was carried out by establishing and stipulating a ministerial regulation as a normative guideline for a complete systematic land registration Vina AmaliaAlifia Soraya QurbaniSalvian KumaraThe purpose of this study is to analyze the provisions on Electronic Mortgage. The study uses normative-empirical legal research methods. The approach used is included in the category of Non-Judicial Case Study, which is a legal case study approach without conflict. The data in this study are secondary data obtained from literature sources and existing sources. The analysis used is a descriptive qualitative analysis that describes the actual state of a particular fact. Based on the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning on Electronic Integrated Mortgage Rights Services, it provides various facilities in its submission. There are several gaps in the regulation that can be used to disadvantage certain parties so that the regulation still needs improvement so that it does not produce a premature Cahayoni RahayuReka DewantaraR. Imam Rahmat Syafi’iThis study aimed to analyze the limits of the meaning of the technical error phrase in Article 57 paragraph 2 of Government Regulation Number 80 of 2019 on the validity of electronic contracts and analyze legal protection for business actors, system makers, and recipients of goods/services related to the phrase technical error in Article 57 paragraph 2 Government Regulation Number 80 of 2019. This study used a normative juridical method with a statutory and analytical approach. The results showed that the technical error phrase in Article 57 paragraph 2 of Government Regulation Number 80 of 2019 contained the meaning of default, resulting in the electronic contract being null and void. Legal protection for business actors was included in Article 6 of Law Number 8 of 1999, in the form of guarantees for self-defense when a dispute occurred due to consumers who had bad intentions. Article 12 of Law Number 19 of 2002 explicitly explained that computer programs were one of the protected copyrighted works. It was legal protection for system makers. Legal protection for recipients of goods/services was contained in Article 46 of Law Number 8 of 1999, in the form of guarantees of justice related to the quality of the product Nur IchsanAbd. AsisHijrah Adhyanti MirzanaThis study aimed to analyze the implementation of the authority of civil servant investigators and analyze the inhibiting factors for civil servant investigators to handle fish quarantine crimes. This study used an empirical juridical method with a sociological juridical approach. Civil servant investigators' authority to handle fish quarantine crimes was carried out based on Article 83 paragraph 2 of Law Number 21 of 2019 through coordination with the police, which includes two fields, namely the field of guidance and operations. The inhibiting factors for civil servant investigators in handling fish quarantine crimes were divided into law enforcement factors and legal UkhraYana Syafriyana HijriIfan TaufikurrohmanThis study was intended to explain the phenomenon of identity politics and political dynasties in the holding of simultaneous elections in 2020. The focus of this study was looking at the issue of identity politics and political dynasties in several regions, including Solo, Medan, South Tangerang, and Central Kalimantan, which were case studies of identity politics and political dynasties issue in the 2020 elections. This research used a type of qualitative research with a descriptive approach. Data was obtained through literature studies by looking at previous research based on the same topic and news in the mass media about the issue of identity politics and political dynasties. The study found that identity politics and political dynasties still occurred in some regions, in Solo, Medan, South Tangerang, and Central Kalimantan. In addition, hate speech, black campaigns, and hoax issues had sprung up with different models through social media and Pasha RahmawatiTunggul Anshari Setia NegaraThis study aimed to analyze the types of audits in government goods/services procurement under Presidential Regulation Number 12 of 2021 and the legal consequences of the incomplete descriptions of audits in government goods/services procurement. The type of research used in this study was normative juridical with a statute approach, a concept approach, and a case approach. Data collection was done by using library research techniques. The data obtained were analyzed using law interpretation techniques. The results of the study showed that Presidential Regulation Number 12 of 2021 concerning Amendments to Presidential Regulation Number 16 of 2018 concerning Procurement of Goods/Services did not explain in detail the main tasks and functions of the Government Internal Supervisory Apparatus in carrying out audits of government procurement of goods/services. The legal consequences of incomplete audit rules in the procurement of government goods/services gave rise to multiple interpretations, so it was necessary to establish an internal regulation or a Regent's regulation related to the main tasks and functions of the Government's Internal Supervisory SubagioHastangka HastangkaThis study aimed to analyze the existence of Pancasila Education before the issuance of Government Regulation Number 57 of 2021 concerning National Education Standards and analysis of legal certainty for the implementation of Pancasila Education through Government Regulation Number 57 of 2021. This study used a qualitative approach, with normative and empirical legal research types. Sources of data obtained from secondary data and primary data. The study results showed that the existence of Pancasila Education experienced various dynamics before the issuance of Government Regulation Number 57 of 2021. Pancasila began to lose its role after issuing Law Number 20 of 2003 concerning the National Education System by eliminating Pancasila Education from primary education to higher education. The main issue of Government Regulation Number 57 of 2021 was based on the findings of inconsistent legal drafting with one another. The issuance of Government Regulation Number 57 of 2021, which did not include the contents of the Pancasila Education material, created legal uncertainty, which had implications for contradicting the laws and regulations on Remigius AbiRianda UsmiSamsuri SamsuriThis study aimed to describe the urgency of global civic education, civic education in the Indonesian context, and the conceptual framework of global civic competencies in developing the Pancasila and civic education curriculum. This study used a descriptive qualitative approach with a literature study method through several stages, including collecting library data, taking notes, reviewing data sources, and processing information. The urgency of global citizenship education was to prepare young people who understand the contemporary world, play an active role in solving national and global problems, and become proactive contributors to a more just, peaceful, tolerant, inclusive, safe, and sustainable world. Pancasila and civic education in the Indonesian context did not yet contain material for global civic education. The conceptual framework for global civic in developing the Pancasila and civic education curriculum should include three main elements global knowledge and understanding, values and attitudes, and global Yunita PutriThis study aimed to produce a learning cycle 7e model of peer learning settings to improve students' understanding of concepts. This study utilized research and development procedures from Plomp. The study results showed that the learning cycle 7e model of peer learning settings was valid, practical, and effective for improving students' conceptual understanding. Validity was obtained from the validation test results of learning model experts with In addition, the learning device expert assessed a percentage of 91% for lesson plans and a percentage of 90% for student worksheets. Furthermore, the practicality of the model tested in small groups obtained while the student activity with a percentage of Finally, the model's effectiveness obtained the average value of the pretest results of and post-test of 93, and the student response questionnaire obtained a percentage of 91%. It indicated a significant change in students' understanding of concepts before and after implementing the developed learning DunggioBambang SugiriRachmad Syafa'atThis study discusses in absentia trial system for traffic violations in Indonesia, proofing in traffic violations, and whether or not there is a need to prove errors in traffic violations. This study uses a normative juridical method with a legislative approach. The regulation of in absentia trial system has three requirements. First, absolute in absentia trial system. Second, the judge examines, adjudicates, and decides cases without the presence of the offender. Third, the offender is not called to attend the trials. Proofing of traffic violations has resulted from a valid evidence coupled with the judge's conviction. The faults of offenders in traffic violations must still be proven, not enough just by YusufRuslan RuslanAti WinarniThe purpose of article writing to determine the significant relationship between affection and attention to the confidence of adolescents living in the Al-Kazem Aceh Besar Orphanage. This research uses correlation method with quantitative approach. Data collection techniques used ques- tionnaires. While the sampling technique using total sampling. The total sampling technique in the study was all female teenagers living at the Al-Kazem Aceh Besar Orphanage, which amounted to 34 people, especially young women aged 11-17 years. The results of study show 1 The correlation coefficient between affection and adolescent self-confidence showed a fairly strong correlation level, 2 the correlation coefficient between attention and confidence showed strong relation rate, and 3 coefficient The correlation between affection and attention with adolescent self-confidence shows a fairly RuslanYUSRIJAL ABDARTriyani TriyaniEli KarlianiAhmad SaefullohVincentius Abdi GunawanThe purpose of this study was to analyze the positive prejudice against religious differences in the context of intergroup relation conflict resolution among junior high school students in Aceh Province. This study used a survey method by taking a sample of three schools. The researcher collected the data in State Junior High School 1 Banda Aceh, State Junior High School 2 Banda Aceh, and State Junior High School 19 Banda Aceh. The study results showed that 79 percent of students in problem solving did not look at their religious background, while 21 percent of students solved problems based on their religious background. The prejudice of 70 percent of students about the existence of religion was in a positive category. They tended to give the same treatment to friends with different religious backgrounds in solving a MukminRUSLAN RUSLANSITI KURNIATIAndhika Yudha PratamaThis study aimed to analyze gross human rights violations in Indonesia, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court, and the challenges of ad hoc human rights courts in resolving gross human rights violations in Indonesia. This study applied normative and empirical legal research with a case study approach. The researcher collected data from primary and secondary data resources. Data collection techniques were carried out by reviewing, studying, and categorizing. The analysis procedure started with data inspection techniques, data marking, and drawing conclusions. The study results showed that the provision of gross human rights violations in Indonesia was adopted from the Rome Statute. However, the implementation of Law Number 26 of 2000 concerning the Ad Hoc Human Rights Court was still limited to the judicial process of the cases of Timor-Timur and Tanjung Priok. The challenges of ad hoc human rights courts include the less than optimal role of Law Number 26 of 2006, legal aspects of the legislation that were not accompanied by procedural law procedures, law enforcement officers who did not work optimally, as well as political, social, and cultural factors that weaken law enforcement at the national Aulia RahmiR. Imam Rahmat Sjafi’iThis study seeks to analyze the problemation in regards to the duty of official land deed PPAT on reporting the suspicious of financial transactions that related to money laundering by the client, related to conflict of norm that an official land deed should be conceal the transactions of client instead of reporting client if there’s a suspicious financial transaction but the government told them to report. This study is questioning in regards to the meaning and criteria the duty of official land deed on reporting the suspicious financial transactions related to money laundering by the client. The type of this research is a normative with statue, conceptual, and historical approach. The conclusions of this study that there are conflict of norm that the land deed’s duty can be solved by using Lex Posterior Derogat Legi Priori Putu AdnyaniImam KoeswahyonoSupriyadi SupriyadiThis study aimed to analyze the application of the registration of communal land rights of indigenous and tribal peoples in the Pakraman Bungbungan Traditional Village, Jembrana Regency, as well as to explore issues that hampered registration of communal land rights and efforts made by the government to overcome these obstacles. The study method used an empirical legal study with a sociological juridical approach. From the study results, it was known that the registration of communal land rights in the Desa Adat Pakraman Bungbungan, Jembrana Regency, Bali Province was implemented through the Government’s Strategic Program, namely the Complete Systematic Land Registration 2019. There were several obstacles experienced, one of them being the community’s ignorance of the communal land registration process. The effort made by officials of the Jembrana District Land Office was to disseminate information to indigenous peoples regarding the way to register communal Kibar AkibImam KoeswahyonoRachmi SulistyariniThis study aimed to analyze the obstacles to the settlement of inheritance disputes in the Kajang indigenous people and the efforts to settle inheritance disputes in a just manner in the Kajang indigenous peoples. The type of research used in this study was empirical juridical with an anthropological approach—sources of data obtained from primary and secondary legal materials. Data collection techniques were carried out through interviews. The data obtained were analyzed using descriptive methods. The results of this study indicated that the obstacles to the settlement of inheritance disputes in the Kajang indigenous people were the parties making false confessions, insisting on defending their rights and social status, tending to be emotional, and lacking firmness from the mediator. Efforts to settle inheritance disputes that were fair to the indigenous people of the Kajang tribe are carried out based on local wisdom based on pasang ri kajang through three stages, namely deliberation at the hamlet head level, mediation by the village head, and the customary justice Indra PratamaAbdul Rachmad BudionoHariyanto SusiloThis study discussed the Balinese customary law regarding the position and inheritance rights of natural children who were adopted by their grander. This study used an empirical legal study, which was a method of legal study that sought to see and examine the law can work in people’s lives. The results of the study showed that the adoption of a natural child by his grandfather was legal according to Balinese customary law, the position of a natural child adopted by his grandfather was the same as his biological child. State law only had a role to strengthen the prevailing customary law. The right to inherit natural children who were adopted by their grandfathers were the same as biological children, including the inheritance of their rights and obligations both as a child and as a member of an indigenous village Supriyadi WahyuKiptiah Mariatul
RPPini dirancang khusus sebagai syarat untuk mengikuti tes tahap 2 simulasi mengajar Calon Guru Penggerak (CGP) dengan alokasi waktu 10 menit. RPP ini merupakan RPP Tema 2 (Persatuan dalam Perbedaan) Sub Tema 3 (Bersatu Kita Teguh) dengan muatan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Suka. Laporkan. Bookmark.
– PKn atau singkatan dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran wajib bagis setiap siswa di sekolah. Namun, apakah sebenarnya pengertian dari PKn itu? Pengertian PKn secara teoritis menurut para ahli adalah sebagai berikut! Henry Randall Waite Henry Randall Waite pada tahun 1790 mendefinisikan pengertian pkn secara teoritis adalah sebagai ilmu tentang kewarganegaraan, hubungan antar manusia baik secara individual maupun kelompok, ataupun hubungan manusia dengan negaranya. J. J. Cogan Menurut J. J. Cogan dalam buku Citizen Education 1998, pendidikan kewarganegaraan adalah pembelajaran secara formal maupun informal yang berlangsung di keluarga, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media, dan lain sebagainya yang membantu membentuk totalitas warga Kerr David Kerr dalam bukunya yang berjudul Citizen Education An International Comparison 1999 menyebutkan bahwa secara luas pendidikan kewarganegaraan adalah proses yang mempersiapkan pemuda atas peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara. Baca juga Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Bela Negara Kerr juga mendefinisikan PKn secara khusus sebagai materi yang mencakup proses pendidikan dan pengajaran pengajaran dalam proses persiapan pemuda untuk menjadi warga negara. Numan Sumantri Menurut Numan Sumantri dalam buku Pembaharuan Pendidikan IPS 2001, pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya guna melatih siswa untuk berpikir kritis, analitis, dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan kehidupan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Cholisin Definisi pendidikan kewarganegaraan menurut Cholisin dalam buku berjudul Pendidikan Kewarganegaraan 2004 adalah aspek pendidikan politik yang berfokus pada peranan warga negara dalam kehidupan bernegara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD Panjaitan Menurut Merphin Panjaitan pengertian pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda agar dapat berpartisipasi dengan aktif menjadi warga negara yang demokratis. Baca juga Pengertian Kewarganegaraan secara Yuridis dan Sosiologis Winataputra dan Budiman U. Winataputra dan D. Budiman dalam Civic Education Konteks, Bahan Ajar, dan Kultur Kelas 2007 mengartikan pendidikan kewarganegaraan secara subtansif dan pedagonis dirancang untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Noor Ms Bakry Salah satu pengertian PKn secara teoritis adalah yang dikemukakan oleh Noor Ms Bakry dalam buku berjudul Pendidikan Pancasila 2010. Menurutnya, Pendidikan Kewarganegaan secara teoritis adalah untuk mendidik siswa menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab dan dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat yang demokratis. Achmad Kosasih Djahiri Menurut Achmad Kosasih Djahiri dalam buku berjudul Esensi Pendidikan Nilai Moral dan PKn di Era Globalisasi 2006, PKn adalah pembelajaran yang berupaya memanusiakan dan membudayakan serta memberdayakan manusia untuk menjadi warga negara yang baik berdasarkan konstitusional negara. Baca juga Hakikat dan Latar Belakang Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Pengertian PKn juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 35 ayat 3 yang berbunyi "Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air". Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
PerbedaanPancasila Dan Kewarganegaraan. Pengertian Pancasila secara Historis Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang BPUPKI Ir. Soekarno berpidato secara lisan tanpa teks mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberi nama istilah dasar negara tersebut Soekarno memberikan nama "Pancasila" yang artinya lima dasar

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam kontrol satuan politik tertentu secara khusus negara yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya. Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan bahasa Inggris citizenship. Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak biasanya sosial yang berbeda-beda bagi warganya. Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan bahasa Inggris nationality. Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik. Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara. Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan bahasa Inggris Civics yang diberikan di sekolah-sekolah. HAKIKAT MEMPELAJARI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Pendidikan Kewarganegaraan , mata pelajaran yang sering disingkat PKN ini sudah diajarkan mulai dari sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi,selama mempelajari pelajaran pendidikan kewarganegaraan ini , Apa kalian tau pengertian dan tujuan dari diajarkannya ilmu Pendidikan kewarganegaraan dalam pendidikan di Indonesia ini?? Dan kenapa pelajaran ini diajarkan dari SD sampai perguruan tinggi. Dalam pendidikan tingkat dasar SD ilmu pendidikan kewarganegaraan yang sering disingkat PKN mempelajari tentang Norma-norma, Pancasila, dan tentang Perilaku-perilaku yang baik dalam masyarakat, Dan lain sebagainya. Dalam Pendidikan tingkat menengah pertama SMP ilmu pendidikan kewarganegaraan mempelajari tentang isi Undang-undang dasar , struktur Negara, Hukum-hukum ketatanegaraan, dan lain sebagainya. Di jenjang pendidikan tingkat Sekolah menengah Atas SMA ilmu pengetahuan kewarganegaraan lebih mempelajari tentang hubungan internasional, keterbukaan dan keadilan,dan lain sebgainya Dari materi-materi yang diajarkan dalam ilmu pendidikan kewarganegaraan dapat disimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaraan yaitu ilmu yang mempelajari tentang nilai luhur dan moral pada budaya bangsa Indonesia serta pengetahuan tentang nasionalisme sebagai warga Negara. Sedangakan tujuan diajarkanya ilmu pengetahuan kewarganegaraan ini yaitu untuk memberikan pengetahuan tentang ketatanegaraan agar masyarakat bisa berpikir kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu dalam Negara,mengetahui Hak dan Kewajiban sebagai warga Negara, serta norma-norma dalam masyarakat. Setelah mengetahui tentang pengertian dan tujuan dari dipelajarinya ilmu pendidikan kewarganegaraan PKN , perlu kita review tentang proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Seharusnya dalam memberikan pembelajaraan tentang pendidikan kewarganegaraan, Pendidik tidak hanya memberikan penjelasan dalam teori kepada peserta didik, tidak hanya dilakukan dikelas melalui penjelasan-penjelasan dari sang pendidik namun juga diterapkanya / dicontohkanya ilmu-ilmu pendidikan kewarganegaraan itu dalam lingkungan masyarakat, dan kehidupan sehari-hari. Semisal disekolah dasar terdapat materi pendidikan kewarganegaraan tentang perilaku-perilaku baik dalam saling tolong-menolong, dalam materi ini pendidik harus berhasil menjadikan peserta didik mampu menerapkan sikap saling tolong-menolongnya dalam lingkungan hidupnya. Atau contoh lain yaitu diajarkanya hak dan kewajiban warga Negara dalam suatu Negara INDONESIA . Dalam materi hak dan kewajiban warga Negara. Tentu tidak cukup mengetahuinya saja,diharapkan peserta didik setelah mengetahui apa hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara,mereka menerapkan, menjalankan kewajiban sebagai warga Negara dan dapat menerima hak-hak mereka serta menuntut hak mereka jika hak nya tidak didapatkan. Dari contoh diatas sangat jelas jika ilmu pendidikan kewarganegaraan ini sangat melekat dengan kehidupan masyarakat karna itu pendidikan kewarganegaraan ini wajib dipelajari agar kita menjadi orang yang bermoral sehingga dapat menjaga nama baik bangsa negara. Serta dapat Berpartisipasi secara aktif dan Juga mampu untuk berfikir kritis,kreatif dan rasional dam menanggapi isu yang terjadi di Negara kita. Sumber wikipedia

.
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/309
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/659
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/81
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/844
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/109
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/526
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/3
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/834
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/80
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/638
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/518
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/512
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/481
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/397
  • 6dcxr63tvq.pages.dev/268
  • perbedaan pancasila dan kewarganegaraan